Setiap pagi melewati jalan lingkar Selatan di kawasan Ciracas, Serang, ternyata menyisakan sedikit pertanyaan buat anak saya yang duduk di kelas 3 SDN 2 Serang/SDL. Mungkin, bukan sekedar pertanyaan. Lebih tepatnya: confirm and cross-check.
“Pah..... nama jalannya kok ada ‘Tb’-nya ya... sama kayak nama Mang Eca?” kata anak saya, Arel, ketika pagi tadi melintasi Jl. Kol. H. Tb. Suwandi (Lingkar Selatan).
“Pah..... Teteh tahu singkatan ‘Tb’......” Arel menyebut dirinya Teteh. “Tubagus ‘kan? Mang Eca (paman), Si Emong (paman), si Engki (kakek) juga ada ‘Tb’-nya. Kok sama sih? Tubagus tuh apaan sih Pah?” tanyanya menyerbu.
Diberondong pertanyaan, saya tidak sempat menjelaskan satu persatu. Selain karena keterbatasan waktu juga keterbatasan pengetahuan mengenai sejarah Banten. Tapi singkatnya, kata saya, ‘Tubagus’ itu gelar keturunan dari Kesultanan Banten. Tubagus adalah gelar untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan gelarnya ‘Ratu’.
“Mamah juga Ratu ‘kan Pah? Bebem (bibi) juga!” sambarnya.
Mengenalkan sejarah Banten melalui obrolan ringan dan singkat ternyata membuat anak saya makin penasaran. Rentetan pertanyaan memberondong saya yang pituin Priangan. Pengalaman menyimak sejarah Banten selama 16 tahun, masih membuat saya hampir kewalahan.
“Terus... Tb. Suwandi itu siapa Pah?”
Pertanyaan yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Bukan tidak pernah saya mengenalkan nama Tb. Suwandi. Tapi tampaknya baru dipahami sekedar nama. Kebetulan juga, saya maupun ibunya, belum pernah menceritakan bahwa Tb. Suwandi itu adalah Bupati Serang tahun 60-an. What is in a name? kata Shakespeare. Begitu jugalah kira-kira dipikiran anak saya. Anak saya kelihatannya belum ‘ngeh kalau nama Tb. Suwandi yang ada dalam silsilahnya adalah orang yang sama dengan sosok yang menjadi nama jalan di kawasan Lingkar Selatan Serang itu.
Lagi-lagi saya hanya bisa ngirit penjelasan, “Tb. Suwandi itu buyutmu..... kakeknya si mamah, atau bapaknya si Engki. ‘Ngerti Teh?” kata saya balik tanya. Anak saya mengiyakan sambil menerawang.
Dalam hati, sayapun jadi ikut-ikutan menerawang. Juga bertanya-tanya, “Apakah generasi bangsa ini cukup mengenal baik sejarah para pendahulunya? Apakah sejarah bangsa ini masih perlu diajarkan kepada generasi sekarang?” Untuk orang banyak saya tidak tahu pasti apakah sejarah masih diperlukan untuk kehidupannya kini. Tapi bagi anak saya, sudah saatnya saya memperkenalkan sejarah. Tentang Serang. Tentang Banten. Tentang Priangan. Dan tentang negeri ini: Indonesia.
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, jangan sekali-kali melupakan sejarah: JASMERAH....!!! Dan..... "Selamat menyambut HARI PAHLAWAN...!"
“Pah..... nama jalannya kok ada ‘Tb’-nya ya... sama kayak nama Mang Eca?” kata anak saya, Arel, ketika pagi tadi melintasi Jl. Kol. H. Tb. Suwandi (Lingkar Selatan).
“Pah..... Teteh tahu singkatan ‘Tb’......” Arel menyebut dirinya Teteh. “Tubagus ‘kan? Mang Eca (paman), Si Emong (paman), si Engki (kakek) juga ada ‘Tb’-nya. Kok sama sih? Tubagus tuh apaan sih Pah?” tanyanya menyerbu.
Diberondong pertanyaan, saya tidak sempat menjelaskan satu persatu. Selain karena keterbatasan waktu juga keterbatasan pengetahuan mengenai sejarah Banten. Tapi singkatnya, kata saya, ‘Tubagus’ itu gelar keturunan dari Kesultanan Banten. Tubagus adalah gelar untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan gelarnya ‘Ratu’.
“Mamah juga Ratu ‘kan Pah? Bebem (bibi) juga!” sambarnya.
Mengenalkan sejarah Banten melalui obrolan ringan dan singkat ternyata membuat anak saya makin penasaran. Rentetan pertanyaan memberondong saya yang pituin Priangan. Pengalaman menyimak sejarah Banten selama 16 tahun, masih membuat saya hampir kewalahan.
“Terus... Tb. Suwandi itu siapa Pah?”
Pertanyaan yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Bukan tidak pernah saya mengenalkan nama Tb. Suwandi. Tapi tampaknya baru dipahami sekedar nama. Kebetulan juga, saya maupun ibunya, belum pernah menceritakan bahwa Tb. Suwandi itu adalah Bupati Serang tahun 60-an. What is in a name? kata Shakespeare. Begitu jugalah kira-kira dipikiran anak saya. Anak saya kelihatannya belum ‘ngeh kalau nama Tb. Suwandi yang ada dalam silsilahnya adalah orang yang sama dengan sosok yang menjadi nama jalan di kawasan Lingkar Selatan Serang itu.
Lagi-lagi saya hanya bisa ngirit penjelasan, “Tb. Suwandi itu buyutmu..... kakeknya si mamah, atau bapaknya si Engki. ‘Ngerti Teh?” kata saya balik tanya. Anak saya mengiyakan sambil menerawang.
Dalam hati, sayapun jadi ikut-ikutan menerawang. Juga bertanya-tanya, “Apakah generasi bangsa ini cukup mengenal baik sejarah para pendahulunya? Apakah sejarah bangsa ini masih perlu diajarkan kepada generasi sekarang?” Untuk orang banyak saya tidak tahu pasti apakah sejarah masih diperlukan untuk kehidupannya kini. Tapi bagi anak saya, sudah saatnya saya memperkenalkan sejarah. Tentang Serang. Tentang Banten. Tentang Priangan. Dan tentang negeri ini: Indonesia.
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, jangan sekali-kali melupakan sejarah: JASMERAH....!!! Dan..... "Selamat menyambut HARI PAHLAWAN...!"
Serang, 8 Nopember 2011
Hehe,,, hebat yaa anaknya,,, saya sangat bangga,,, coba seharusnya semua yang merasa keturunan banten seperti anak bapak,,, yang mana ingin tahu tentang hal asal usul sejarah keturunannya,,, kalau saja tidak tahu silsillahnya sendiri,,bagaimana dia akan tahu sejarahnya parah tokoh" ( banten ) ,,, sekali lagi salut dan bangga dengan keluarga bapak,,. Trims atas publukasi yang telah bapak berikan,,,
BalasHapusterima kasih telah mengenalkan alm. kakek saya kepada anaknya
BalasHapusAkiiiiiš
BalasHapus